Berbagai kenikmatan telah Allah l limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah l semata. Allah l...
Berbagai kenikmatan telah Allah l limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah l semata. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya tidaklah dapat kalian menghitungnya.” (Ibrahim: 34)
Seorang hamba akan mengakui dan menyadari bahwa kenikmatan apapun, baik nikmat yang lahir maupun batin, yang ada pada dirinya maupun orang lain, itu semua adalah karunia Allah l semata yang wajib untuk disyukuri.
Allah berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat tersebut) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)
Demikianlah sikap seorang hamba yang bersyukur terhadap limpahan nikmat dari Allah l. Dia tidak menyandarkan nikmat tersebut kepada ilmu, kekuatan, kegigihan atau keuletan usahanya. Karena sikap seperti itu adalah sikap seorang yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah l, sebagaimana Qarun menyatakan tentang hartanya:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Di antara sekian banyak kenikmatan yang Allah l limpahkan kepada para hamba-Nya, baik yang dzahir maupun batin, urusan agama maupun dunia, yang paling mulia adalah nikmat ilmu yang nafi’ (bermanfaat) dan amalan yang shalih. Sehingga Allah l memerintahkan hamba-hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya n untuk membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalatnya. Dari Ubadah bin Ash-Shamit z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
لاَ صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” (Muttafaqun alaih)
Sedangkan di dalamnya terdapat doa:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya:
“Tunjukilah kami, bimbinglah kami, dan berilah kami hidayah at-taufiq ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang jelas, yang akan mengantarkan kami kepada Allah l dan surga-Nya. Yang dimaksud dengan nikmat yang telah Allah l limpahkan kepada mereka adalah mengilmui kebenaran dan mengamalkannya.
Mereka adalah beberapa golongan hamba Allah l yang disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)
Merekalah hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat syariat dan agama yang sempurna, sebagaimana Allah l firmankan:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)
Oleh karena itulah Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي، وَزِدْنِي عِلْمًا
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarilah aku hal-hal yang akan bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah untukku ilmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
اللَّهُمَّ إِنِّـي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يـَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah puas/cukup, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa’i dari Zaid bin Arqam z)
Dengan hadits yang agung inilah, Rasulullah n memberitahukan kepada kita sebagian tanda-tanda ilmu yang bermanfaat.
1. Khasy-yah (Rasa takut kepada Allah)
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata dalam tafsirnya: “(Maksud ayat tersebut adalah) hanya saja yang takut kepada Allah l dengan sebenar-benar takut adalah para ulama yang mengenal-Nya. Karena ketika semakin sempurna pengenalan dan ilmu terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang baik, akan semakin sempurna dan semakin besar pula khasyyah (rasa takut) nya.”
Ibnu Mas’ud z berkata: “Bukanlah ilmu itu karena banyaknya hadits, akan tetapi ilmu itu karena banyaknya khasy-yah.”
Sebagian salaf berkata: “Barangsiapa takut kepada Allah l maka dia adalah orang yang berilmu, dan barangsiapa yang mendurhakai Allah l maka dia adalah orang yang bodoh.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab t berkata: “Hal itu karena ilmu yang bermanfaat itu menunjukkan atas:
a. mengenal Allah l dan hak-hak-Nya, seperti nama-nama-Nya yang berada pada puncak kebaikan dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, serta perbuatan-perbuatan-Nya yang mulia. Hal ini berkonsekuensi agar Allah l dimuliakan, diagungkan, ditakuti, dicintai, diharap, ditawakkali, diridhai ketentuan-ketentuan-Nya, bersabar atas ujian dan cobaan dari-Nya.
b. ilmu tentang apa yang Dia cintai, yang Dia ridhai, yang Dia benci, dan Dia murkai, berupa berbagai keyakinan, amalan yang lahir maupun batin, dan ucapan.
Hal-hal tersebut menuntut siapapun yang mengilmuinya untuk segera melakukan segala hal yang dicintai dan diridhai Allah l, serta menjauhi segala yang Dia benci dan Dia murkai. Apabila ilmu tersebut membuahkan hal-hal seperti di atas terhadap pemiliknya, maka itulah ilmu yang nafi’ (bermanfaat). Ketika ilmu itu bermanfaat dan mantap di dalam hati karena Allah l, sungguh hati itu akan khusyu’.” (Bayan Fadhli ‘Ilmi As-Salaf, hal. 72)
2. Mengamalkannya
Allah l berfirman:
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (Al-Baqarah: 44)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Hal ini (mengamalkan ilmu) terjadi setelah beriman. Yaitu engkau beriman terhadap apa yang engkau ilmui lalu mengamalkannya. Di mana tidak mungkin beramal (dengan benar) kecuali dengan beriman. Maka, apabila seseorang tidak diberi hidayah untuk mengamalkan ilmu, berarti dia mengilmui berbagai perkara namun tidak mengamalkannya, sehingga ilmunya bukanlah ilmu yang bermanfaat.” (Syarh Hilyah, hal. 163)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah, hal. 19): “Karena seseorang itu tidak cukup hanya dengan belajar dan mengajar, bahkan dia harus mengamalkan ilmunya. Maka ilmu tanpa amal hanyalah menjadi hujjah yang menimpa pemiliknya. Sehingga ilmu itu bukan ilmu yang nafi’ kecuali bila disertai pengamalan. Orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya, dia adalah orang yang dimurkai. Karena dia mengetahui kebenaran namun meninggalkannya.
Rasulullah n bersabda:
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Dan Al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu (bila mengamalkannya) atau hujjah yang menimpamu (bila tidak mengamalkannya).” (HR. Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari z)
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ فِي الرَّحَا فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا لَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Didatangkan seseorang pada hari kiamat, kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Maka keluarlah isi perutnya. Lalu dia berputar-putar seperti berputarnya keledai di penggilingan gandum. Berkumpullah penghuni neraka (mengerumuninya) sambil berkata: ‘Wahai fulan, kenapa engkau? Bukankah engkau dahulu (di dunia) memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?’ Dia menjawab: ‘Benar, aku memerintahkan yang ma’ruf namun aku tidak melakukannya. Aku melarang yang mungkar namun aku melakukannya’.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Tawadhu’
Allah l berfirman:
“Dan hamba-hamba Dzat Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al-Furqan: 63)
Asy-Syaikh As-Sa’di t dalam tafsirnya berkata: “Mereka berjalan dalam keadaan tenang, tawadhu’ (merendahkan diri) terhadap Allah l dan terhadap makhluk-Nya (karena Allah l). Ini adalah sifat mereka. Mereka memiliki sifat sopan, tenang, tawadhu’ terhadap Allah l dan terhadap makhluk-Nya.”
Dari ‘Iyadh bin Himar z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’, sehingga tidak ada seorangpun yang merasa lebih mulia atas yang lainnya, dan tidak ada seorangpun yang menzalimi yang lain.” (HR. Muslim)
Rasulullah n juga bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata:
“Tawadhu’ karena Allah l memiliki dua makna:
a. engkau menundukkan diri terhadap agama Allah l, sehingga tidak sombong, congkak terhadap agama. Tidak pula engkau menolak untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.
b. engkau merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah l, karena Allah l, bukan karena takut kepada mereka. Bukan pula karena mengharapkan sesuatu yang ada pada mereka, namun hanya karena Allah l.
Kedua makna ini benar. Barangsiapa yang merendahkan diri karena Allah l semata, Allah k akan meninggikan derajatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini adalah realita yang bisa disaksikan. Ketika seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah k, dia berada pada derajat yang tinggi dalam pandangan manusia, disebut-sebut kebaikannya. Mereka pun mencintainya. Perhatikanlah sikap tawadhu’ Rasulullah n.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/262)
Namun untuk bersikap tawadhu’ membutuhkan latihan-latihan, sebagaimana kata Al-Imam Al-Khaththabi t: “Manusia biasa tidak akan berubah dari tabiatnya. Dia tidak akan meninggalkan berbagai kebiasaan yang disukai kecuali dengan latihan yang keras dan pengobatan yang terus-menerus. Maka barangsiapa yang tidak membiasakan jiwanya untuk menerima kebenaran, dia membutuhkan latihan dan pendidikan sehingga jiwanya mencintai al-haq (kebenaran) dan tunduk kepadanya.” (A’lamul Hadits, 1/218)
4. Qana’ah
Qana’ah adalah ridha dan merasa cukup dengan rezeki yang Allah l karuniakan kepadanya. Rasulullah n bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهَا كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezeki mencukupi kebutuhan hidupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup (qana’ah) dengan apa yang Allah karuniakan kepadanya.” (HR. Muslim, dari Abdullah bin ‘Amr c)
Karena itu, seorang hamba harus menghiasi dirinya dengan sikap qana’ah terhadap dunia yang fana ini.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Bila engkau mengarahkan pandanganmu ke tengah-tengah kehidupan kaum muslimin, baik dahulu maupun sekarang, niscaya akan engkau dapati mayoritas orang yang menyimpang dari ash-shirathal mustaqim dikarenakan tamak terhadap harta dan tahta. Maka barangsiapa yang membukakan pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan sering berganti (prinsip), berubah warna dan menganggap ringan urusan agamanya.” (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata:
“Setiap orang yang lebih memilih dan mencintai dunia dari kalangan orang yang berilmu, pasti dia akan berkata tentang Allah l (Dzat, nama, sifat, perbuatan dan syariat-Nya) dengan ucapan yang tidak benar dalam fatwa-fatwa, hukum, berita, dan konsekuensi-konsekuensinya. Karena kebanyakan hukum-hukum Allah l menyelisihi keinginan-keinginan manusia. Lebih-lebih bagi orang yang berambisi mendapatkan kedudukan atau jabatan, serta orang yang diperbudak oleh hawa nafsunya. Ambisi-ambisi mereka tidak akan terpenuhi kecuali dengan menyelisihi al-haq dan banyak menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim lebih mencintai kedudukan, jabatan, atau hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan terpenuhi kecuali dengan segala kebenaran yang bertentangan dengannya.
Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu akan membutakan mata hati, sehingga dia tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Atau, akan menyebabkan pandangannya terbalik, sehingga dia melihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit orang-orang yang berilmu bila mereka lebih memilih dunia dan hawa nafsunya.” (Al-Iqtidha, 1/114)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali t berkata:
“Pokok dari ilmu adalah ilmu tentang Allah k, yang mengharuskan untuk takut kepada-Nya, mencintai-Nya, merasa dekat dengan-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu kepada-Nya. Setelah itu adalah ilmu tentang hukum-hukum Allah l, hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya bagi seorang hamba, baik berupa ucapan, amalan, keadaan maupun keyakinan. Barangsiapa telah mewujudkan kedua macam ilmu ini, dia adalah orang berilmu, yang ilmunya bermanfaat. Dia mendapatkan ilmu yang nafi’, hati yang khusyu’, nafsu yang qana’ah, dan doa yang dikabulkan.
Namun barangsiapa yang tidak mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dia pasti akan terjatuh pada empat hal yang Rasulullah n senantiasa berlindung darinya. Ilmunya justru menjadi hujjah dan musibah yang akan menimpa dirinya. Sehingga dia tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya, karena hatinya tidak takut kepada Allah l. Hawa nafsunya tidak puas dengan dunia, bahkan semakin rakus dan serakah terhadap dunia. Doanya pun tidak dikabulkan karena dia tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan tidak menjauhi hal-hal yang dimurkai dan dibenci-Nya.” (Bayan Fadhli ‘Ilmi As-Salaf, hal. 79)
Nas’alullaha al-‘afiyah (Kita memohon keselamatan kepada Allah
KOMENTAR