Kapan Seseorang Bisa Dinyatakan Murid Syaikh Fulan ?
KAPAN SESEORANG BISA DINYATAKAN ‘MURID SYAIKH FULAN’
Tanya :
"Ada sebagian da’i menisbahkan kepada Syaikh tertentu (yakni menyatakan diri sebagai murid syaikh tersebut, pen). Padahal dia tidak pernah diketahui duduk di majelis syaikh tersebut kecuali beberapa kali saja, tidak lebih dari hitungan jari.
Maka kami mengharap dari Anda penjelasan tentang batasan : kapan seseorang dinyatakan sebagai murid seorang syaikh, dan termasuk dalam jajaran murid-muridnya?"
"Ada sebagian da’i menisbahkan kepada Syaikh tertentu (yakni menyatakan diri sebagai murid syaikh tersebut, pen). Padahal dia tidak pernah diketahui duduk di majelis syaikh tersebut kecuali beberapa kali saja, tidak lebih dari hitungan jari.
Maka kami mengharap dari Anda penjelasan tentang batasan : kapan seseorang dinyatakan sebagai murid seorang syaikh, dan termasuk dalam jajaran murid-muridnya?"
Jawab :
"Apabila kamu merujuk kepada biografi para ‘ulama salaf. Yakni seorang imam, disebutkan dalam biografinya siapa saja para syaikh (guru)nya, dan siapa saja murid-muridnya. Akan kamu dapati di situ meskipun dia meriwayatkan dari seorang syaikh satu atau dua hadits saja, maka itu sudah teranggap sebagai syaikhnya. Demikian juga, murid yang meriwayatkan darinya satu atau dua hadits saja, maka itu sudah teranggap sebagai muridnya.
"Apabila kamu merujuk kepada biografi para ‘ulama salaf. Yakni seorang imam, disebutkan dalam biografinya siapa saja para syaikh (guru)nya, dan siapa saja murid-muridnya. Akan kamu dapati di situ meskipun dia meriwayatkan dari seorang syaikh satu atau dua hadits saja, maka itu sudah teranggap sebagai syaikhnya. Demikian juga, murid yang meriwayatkan darinya satu atau dua hadits saja, maka itu sudah teranggap sebagai muridnya.
Namun istilah/penyebutan bisa berbeda – wallahu a’lam –
Apabila seseorang mengatakan, “Saya termasuk muridnya fulan, dan aku telah belajar kepada fulan” dalam rangka mengesankan kepada manusia bahwa dia pernah belajar kepadanya Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, …dst, jika dia lakukan itu UNTUK MENGESANKAN KEPADA MANUSIA KESAN INI, dan MANUSIA MEMAHAMI SEPERTI ITU, maka WAJIB ATASNYA UNTUK MENGHINDARI ITU. Dia harus menjelaskan seberapa ilmu yang diambil dari syaikhnya tersebut.
Jangan dia mengecoh manusia. Karena banyak yang mengaku: “Saya belajar kepada asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, aku belajar kepada asy-Syaikh Bin Baz, aku belajar kepada asy-Syaikh al-Albani,” …
seraya mengatakan, “Syaikhuna (guru kami) … .” untuk mengesankan kepada manusia bahwa dirinya termasuk muridnya yang duduk lama berguru kepadanya dan mengambil banyak ilmu darinya. Mengesankan ini kepada manusia.
seraya mengatakan, “Syaikhuna (guru kami) … .” untuk mengesankan kepada manusia bahwa dirinya termasuk muridnya yang duduk lama berguru kepadanya dan mengambil banyak ilmu darinya. Mengesankan ini kepada manusia.
Apabila manusia ternyata memahami seperti itu, maka WAJIB atasnya menjelaskan, dengan mengatakan : “Demi Allah, aku belajar kepadanya hanya sekali majelis, mempelajari kitab ini.”
Atau mengatakan, “Aku pernah membaca di hadapannya sedikit dari kitab Shahih Muslim"; "Aku pernah membaca di hadapannya sedikit dari kitab Shahih al-Bukhari"; "Aku pernah membaca di hadapannya sedikit dari hadits-hadits shahih dan dha’if"; ….. dst, atau "aku pernah duduk bersamanya dalam sebuah liqa’ saja "…. Demikian dia harus memberikan penjelasan kepada manusia.
Boleh dia mengatakan, “Aku murid syaikh fulan” namun dengan syarat jangan sampai mengesankan kepada manusia bahwa dirinya belajar lama dengan syaikh tersebut, mengambil ilmu ini, itu, dan itu..”
Marhaban Ya Thalib al-‘Ilmi, hal. 337
Majmu'ah Manhajul Anbiya
KOMENTAR