Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma mengisahkan kala Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu melakukan perjalanan menuju Sya...
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma mengisahkan kala Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu melakukan perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh (Sargh adalah daerah di pinggiran Syam, di wadi (lembah) Tabuk), beliau ditemui oleh para amir kota-kota wilayah Syam (Palestina, Jordania, Himsh, Damaskus, dan Qansirin), Abu Ubaidah dan para sahabatnya(Yakni Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Syarahil bin Hasanah, dan Amr bin al-‘Ash radhiyallahu 'anhum). Mereka mengabarkan bahwa wabah tha’un sedang melanda Syam.
Umar berkata, “Kumpulkan kepadaku sahabat muhajirin yang pertama!”(mereka yang shalat menghadap dua kiblat, Baitul Maqdis dan Ka’bah.) Umar memberitahukan kepada mereka bahwa wabah tha’un telah berjangkit di Syam lalu meminta pendapat mereka. Ternyata sahabat Muhajirin berselisih pendapat. Sebagian mereka berkata, “Engkau pergi untuk suatu urusan dan kami tidak sepakat jika engkau kembali.” Sebagian lain berkata, “Bersama engkau masih banyak rakyat dan para sahabat. Kami tidak sepakat jika engkau membawa mereka menuju wabah tha’un.”
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku. Tolong panggilkan sahabat-sahabat Anshar!” Aku pun memanggil mereka. Ketika dimintai pertimbangan, mereka juga bersikap dan berbeda pendapat seperti halnya orang-orang Muhajirin.
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku!” Lalu ia berkata, “Panggilkan sesepuh Quraisy yang dahulu hijrah pada waktu penaklukan (Fathu Makkah) dan sekarang berada di sini!” Aku pun memanggil mereka. Mereka ternyata tidak berselisih. Mereka semua berkata, “Menurut kami, sebaiknya engkau kembali bersama orang-orang dan tidak mengajak mereka mendatangi wabah ini.”
(Setelah mendengar berbagai pendapat –pen.) Umar berseru di tengah-tengah manusia (berijtihad memutuskan apa yang beliau anggap mendekati kebenaran –pen.), “Sungguh aku akan mengendarai tungganganku untuk pulang esok pagi. Hendaknya kalian mengikuti!”
Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu 'anhu bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”
Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?” (Demikian pula, apa yang kita putuskan tidak lepas dari takdir Allah, sebagaimana yang dilakukan penggembala yang mengarahkan kambingnya dari tanah yang tandus menuju tanah yang subur tidak lepas dari takdir Allah –pen.)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata, “Tiba-tiba datanglah Abdurrahman bin ‘Auf, yang sebelumnya tidak hadir karena keperluannya. Ia berkata, ‘Sungguh aku memiki ilmu tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ
‘Jika engkau mendengar wabah tha’un di sebuah negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan seandainya wabah tha’un terjadi di negeri yang engkau tinggali, janganlah engkau meninggalkan negerimu karena lari dari tha’un’.”
Ibnu Abbas berkata, “(Begitu mendengar hadits tersebut), Umar memuji Allah lalu meninggalkan majelis.”
Takhrij Hadits
Riwayat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab ath-Thib (Pengobatan), “Bab Tentang Penyakit Tha’un” (10/178 no. 5729 dengan Fathul Bari). Lihat pula no. 5730 dan 6973.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, Kitab As-Salam (4/1740 no. 2219), Abu Dawud dalam as-Sunan, Kitab Jenazah, “Bab Keluar dari Penyakit Tha’un” (no. 3103), al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/194), Malik dalam al-Muwaththa’, dan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat al-Kubra.
Referensi : http://asysyariah.com/iman-kepada-takdir-tidak-meniadakan-ikhtiar/
KOMENTAR