Anak Saleh, Sebuah Dambaan Qonitah Ed. 1 Rubrik buah Hati Oleh: Ustadzah Ummu ‘Umar حفظها الله Siapa yang tidak ingin memiliki a...
Anak Saleh, Sebuah Dambaan
Oleh: Ustadzah Ummu ‘Umar حفظها الله
Siapa yang tidak ingin memiliki anak yang saleh, berakhlak mulia, dan berbakti kepada orang tua? Setiap orang yang berakal sehat pasti sangat mendambakannya. Bahkan, orang tua yang bergelimang kemaksiatan pun, saat berpikir sehat, tentu tidak ingin anaknya melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan.
Memang, anak saleh adalah anugerah yang sangat besar bagi setiap hamba. Betapa tidak, budi pekerti mereka yang indah akan senantiasa menyejukkan pandangan orang tua. Terlebih lagi seorang muslim yang mengetahui bahwa anak adalah hasil usahanya, sehingga saat anak-anak beramal saleh, orang tua pun mendapat bagian pahalanya. Bahkan, ketika orang tua telah tiada, hanya anak salehlah yang mengingatnya, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan untuknya.
Demikian besar nikmat tersebut sehingga seorang muslim tentu akan selalu berusaha mendapatkannya, sejak dari memilih pasangan yang saleh atau salehah, menambah pengetahuan tentang cara tepat mendidik anak, mendoakan kebaikan untuk anak, hingga berbagai usaha lainnya.
Namun, dalam menempuh seluruh usaha itu, perlu kita ingat bahwa kita hanyalah manusia biasa. Kita makhluk lemah yang hanya bisa berusaha tanpa bisa menentukan hasil yang didapat. Seperti itu pula halnya mendidik anak. Para orang tua hanya mampu berusaha semaksimal mungkin, adapun yang bisa memberikan petunjuk kepada seluruh manusia, termasuk anak-anak, adalah Allah subhanahu wa ta'ala semata, tidak ada yang lain. Allah sajalah yang memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Demikian pula sebaliknya.
Contoh nyata dapat kita lihat dari kehidupan para nabi. Nabi Nuh عليه السلام rasul pertama yang Allah عز وجل utus di muka bumi ini, tidak diragukan, seorang rasul tentu menginginkan kebaikan bagi seluruh manusia, terlebih keluarganya. Tidak diragukan pula ilmu yang dimilikinya, karena beliau langsung menerima wahyu dari Allah سبحانه. Namun, siapa yang mampu menolak ketentuan Allah? Ternyata, putra beliau sendiri tidak mau beriman dan enggan mendengarkan kata-kata sang ayah. Allah تعالى mengisahkan dalam al-Qur’an, saat banjir mulai melanda kaum Nabi Nuh عليه السلام, beliau memerintahkan orang-orang untuk naik ke atas kapal agar selamat. Demikian pula kepada keluarga tercinta, Beliau عليه السلام juga memerintah sang putra untuk ikut serta naik ke kapal itu. Namun, apa jawaban sang putra?
{قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ} [هود : 43]
“Anaknya menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang akan melindungiku dari air bah.’ Nuh berkata, ‘Tidak ada yang bisa melindungi pada hari ini dari azab Allah selain Allah saja Yang Maha Penyayang.’ Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Setelah itu, Nabi Nuh عليه السلام menyeru kepada Allah تعالى bahwa putra beliau adalah bagian dari keluarganya. Beliau menginginkan agar putranya selamat dari api neraka pada hari kiamat. Namun, Allah تعالى menegur Nabi Nuh sehingga beliau pun meminta ampun kepada Allah سبحانه,
{قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ} [هود : 47]
“Nuh berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Sekiranya Engkau tidak memberikan ampun kepadaku dan tidak mengasihiku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi’.” (Hud: 47)
Contoh lain adalah kisah Nabi Ibrahim عليه السلام. Beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyekutukan Allah تعالى. Bahkan, ayah beliau sendiri adalah orang yang membuat patung-patung untuk disembah. Namun sungguh indah ketetapan Allah سيحانه, Ibrahim عليه تلسلام, anaknya, menjadi orang yang mentauhidkan-Nya tidak bisa dicegah oleh seorang pun. Coba kita pikirkan, di lingkungan yang penuh kesyirikan itu, siapa yang mengajari Nabi Ibrahim عليه السلام? Siapa yang membuat beliau tidak nyaman berada di tengah masyarakat beliau? Siapa yang membuat beliau membenci kesyirikan? Tidak lain, hanya Allah yang bisa melakukan itu semua. Allahlah yang memberikan petunjuk ke dalam dada beliau.
Demikian pula Nabi Ibrahim عليه السلام, tidak bisa memberikan petunjuk kepada sang ayah. Allah menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام berusaha menasihati sang ayah dengan perkataan yang lembut. Beliau memanggil sang ayah dengan panggilan yang menunjukkan kasih sayang anak terhadap bapaknya. Namun, apa jawaban sang ayah? Dia mengatakan,
{قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا} [مريم : 46]
“Bapaknya berkata, ‘Apakah kamu membenci tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan ku rajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama’.” (Maryam: 46)
Demikianlah, gambaran dari kisah di atas, seorang yang saleh, tetapi anaknya tidak meniru kesalehannya. Di sisi lain, ada orang yang jahat, bahkan kafir atau musyrik, tetapi anaknya diberi petunjuk oleh Allah عز وجل sehingga menjadi orang yang saleh. Masih banyak contoh mengenai hal ini. Bahkan, kenyataan ini kerap terjadi di lingkungan masyarakat kita. Oleh karena itu, semakin teranglah, bahwa tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada seorang hamba melainkan hanya Allah تعالى semata.
Namun, Pembaca, hal ini tidak lantas membuat orang tua menyerah tanpa berusaha. Mereka justru harus bersemangat mengusahakan kesalehan anak-anak mereka. Sebab, di samping realita yang disebutkan di atas, sering kita dapati pula kesalehan orang tua menjadi satu sebab kesalehan anak, dengan petunjuk dari Allah سبحانه tentunya. Sebutlah sebagai contoh, Nabi Ibrahim عليه السلام. Beliau dijuluki bapak para nabi karena banyak keturunannya yang menjadi nabi. Nabi Sulaiman عليه السلام, ayah beliau seorang nabi. Demikian pula halnya para sahabat. Banyak sahabat yang mulia memiliki keturunan yang mulia pula. Begitu pula para ulama, banyak di antara keturunannya menjadi ulama juga.
Jadi, orang tua mesti berusaha mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh. Namun, mereka harus senantiasa ingat bahwa hanya Allahlah yang memberikan petunjuk. Maka dari itu, kita harus senantiasa berdoa, memohon kesalehan bagi keturunan-keturunan kita. Hal ini telah diteladankan oleh para nabi. Mereka senantiasa memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang saleh.
Nabi Zakaria عليه السلام berdoa,
فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)} [مريم : 5-6]
“… maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabb-ku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Beliau juga berdoa,
{هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ} [آل عمران : 38]
“Wahai Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali ‘Imran: 38)
Seperti itu pula yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim عليه السلام. Banyak doa beliau yang disebutkan oleh Allah تعالى dalam al-Qur’an. Di antaranya,
{رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ} [الصافات : 100]
“Wahai Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (ash-Shaffat: 100)
Dalam ayat lain, beliau juga berdoa,
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ [ابراهيم : 35]
“… dan jauhkan aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah, Pembaca, semestinya kita menyadari bahwa Dia semata yang mampu memberikan petunjuk. Bagi kita hanya diberikan ruang untuk berdoa dan berusaha dengan sungguh-sungguh. Hanya kepada-Nya kita memohon anak yang saleh.
Wallahu a’lam.
Sumber : Qonitah Ed. 1 Rubrik buah Hati
KOMENTAR